
JKTOne.com – Dalam gelombang film komedi lokal yang kian ramai, “Tinggal Meninggal” (TingNing) hadir menyuguhkan sesuatu yang berbeda: sebuah perpaduan menghibur antara komedi dan kegetiran jiwa yang tak hanya bikin penonton tertawa terpingkal-pingkal, tapi juga merenung setelah lampu bioskop kembali menyala hingga pulang ke rumah.
Tinggal Meninggal adalah debut layar lebar Kristo Immanuel sebagai sutradara dan penulis skenario dengan Jessica Tjiu sebagai ko-sutradara & penulis skenario, merupakan duo kreatif yang berhasil meracik humor dan relung kejiwaan menjadi sajian sinematik yang segar dan tidak klise.
Film ini Dikemas dalam genre yang disebut bitter comedy, alias komedi getir, sebuah pendekatan satir yang membuat tertawa sekaligus menggugah perenungan diri. Didukung oleh Imajinari bersama produser Ernest Prakasa (komika kawakan) dan Dipa Andika, film ini akan tayang serentak di bioskop Indonesia pada 14 Agustus 2025
Berikut Seklumit Kisahnya…
Alur Cerita yang Menggelitik Penasaran
Gema (diperankan oleh Omara Esteghlal), pegawai kantor yang pendiam dan kikuk serta sangat mendambakan perhatian dan pelukan hangat, baru merasakan ‘hidup’ saat sang ayah meninggal, di mana rekan kantornya tiba-tiba menunjukkan perhatian atas musibah tersebut. Gema kemudian mulai mendapatkan perhatian dari teman-teman kantor – Kerin (Mawar Eva de Jongh), Adriana (Shindy Huang), Naya (Nada Novia), Ilham (Ardit Erwandha), Danu (Mario Caesar), dan Pak Cokro (Muhadkly Acho). Namun saat kehangatan itu memudar dan menguap, Gema malah cemas, hingga khawatir akan diabaikan rekan-rekannya, muncul pertanyaan absurd yang menjadi inti konflik:
“Siapa lagi yang harus meninggal supaya aku kembali diperhatikan?”
Suatu hari, Gema mulai melihat sosok Gema kecil, versi dirinya saat TK yang muncul sebagai teman imajinatif dan ‘inner child’ yang kerap mengajak penonton merasa sedang diajak berbicara langsung oleh Gema.
Dengan absurd dan satir, film ini mengajak penonton menertawakan sekaligus mempertanyakan: “Apa sebenarnya batas perhatian sosial kita?”. Pendekatan visual memecah dinding ke-empat (breaking the fourth wall), seolah Gema berbicara langsung ke penonton sehingga itu cerita terasa personal dan intim.
Konflik makin absurd ketika Gema berpikir bahwa jika sang ibu pun meninggal, maka kehangatan dan empati sosial bisa datang kembali, sesuatu yang satir dan gelap, mengungkap betapa hebatnya pelampiasan ekspresi jiwa yang butuh perhatian, kehangatan dan pelukan.

Tema Sosial & Relevansi Urban
Tinggal Meninggal bukan sekadar film komikal, ia merupakan studi sosial tentang generasi muda urban yang rentan terhadap isolasi, tekanan validasi online, dan kehilangan koneksi otentik.
Komedi getirnya justru menyentil realitas atas “simpati semu” dan pengakuan palsu, kemudian dilemparkan kembali ke penonton sebagai bentuk perenungan.
Daftar Tokoh & Aktor
Omara Esteghlalsebagai Gema (dewasa), peran utama yang protagonist, introvert, frustasi atas validasi diri di lingkungan sosial, dan sangat mendambakan perhatian serta pelukan.
Jared Alisebagai Gema kecil, representasi inner child yang memicu dialog filosofis absurd.
Mawar Eva de Jonghsebagai Kerin
Shindy Huangsebagai Adriana
Nada Novia Putrisebagai Naya
Muhadkly Achosebagai Pak Cokro
Ardit Erwandhasebagai Ilham
Mario Caesarsebagai Danu
Nirina Zubir sebagai Mama Gema, sosok ibu yang keras tapi penuh kasih sayang, menambah kedalaman emosi film.
Gaya Narasi & Teknik Sinematik
Kristo Immanuel membekali film ini dengan teknik visual breaking the fourth wall, seolah Gema berbicara langsung ke penonton sehingga cerita terasa personal dan intim, menyudutkan penonton dalam pikiran Gema, dari absurd hingga reflektif. Tone-nya isyaratkan humor getir, yaitu lucu karena pahit, dan pahit karena terlalu akrab dengan keseharian modern.
Pembuatan film ini dilakukan dengan mock-up 1,5 jam lebih dulu agar aktor dan kru sinkron dengan tone yang diinginkan, pengerjaan ini menunjukkan keseriusan visi sutradara agar film bukan sekadar komedi murahan
Visual, Musik, dan Nuansa Supranatural yang Kuat
Sinematografi dalam Film Tinggal Meninggal tidak main-main. Palet warna yang digunakan mampu menciptakan nuansa misterius, sementara efek visual memperkuat transisi antara perpindahan adegan ke adegan. Musik latar pun digarap dengan cermat, sesekali menegangkan, kadang tiba-tiba berubah jadi jenaka.

Reaksi Penonton di Acara Press Screening dan Press Conference
Pada acara press screening dan press conference di Epicentrum XXI (6 Agustus 2025), pembukaan di layar lebar menyajikan klip soundtrack oleh Mawar de Jongh. Suara melankolis yang langsung membaur ke atmosfer film. Format press conference juga tidak biasa, selain media yang bertanya, para kru dan aktor pun balik bertanya pada media, membangun rasa inklusif dan dialogic yang erat sehingga berbagai kejelasan dan muatan moril yang ingin disampaikan dari film ini dapat terselami dengan baik oleh penonton dari berbagai media.
Omara pun menuai pujian atas ekspresi canggungnya yang berhasil membawa tawa dari awal hingga akhir. Beberapa penonton dengan nada yang sama menyebut “Film ini bukan hanya lucu, tapi benar-benar menyayat. Kita diacak-acak di dalam pikiran dan hati”, sekaligus menyadarkan tentang pentingnya kehadiran orang tua dan rasa memiliki.
Dengan genre fresh yang original dan sulit ditemui, sinematografi ini mengajak penonton untuk berempati terhadap orang di sekelilingnya, serta pesona Omara Esteghal (Gema), Nirina Zubir (Mama Gema), Mawar Eva de Jongh (Kerin) memiliki sihir ekspresi dan acting yang sangat menjiwai, Omara Esteghlal memberikan penampilan yang kuat sebagai Gema, penuh emosional, ekspresif, lucu, dan penuh energi.
Namun bintang sesungguhnya adalah Nirina Zubir. Ia tampil total sebagai ibu yang keras kepala tapi penuh kasih sayang, dengan timing komedi yang sempurna dan kedalaman emosi yang tergali dengan sangat menyentuh. Nirina Zubir memang aktris kawakan. Begitu pula pemeran lain, Muhadkly Acho (Pemeran Pak Cokro), Mario Caesar (Pemeran Danu), Ardit Erwandha (Pemeran Ilham), Shindy Huang (Pemeran Adriana), Nada Novia (Pemeran Naya), Jared Ali (Pemeran Gema Kecil) semuanya turut memperkaya cerita dengan karakter-karakter unik dan mengundang tawa. Humor yang dihadirkan tidak hanya berasal dari dialog, tetapi juga dari situasi dan ekspresi visual yang ditata rapi oleh duo sutradara.
Film Tinggal Meninggal bukan sekadar hiburan, tapi merupakan wacana bersama tentang validasi diri di lingkungan sosial, kesendirian yang pedih, perhatian yang tulus, keberanian membuka luka, dan kejujuran batin di era digital ini.
Tinggal Meninggal adalah film komedi getir yang berhasil melampaui ekspektasi. Sebuah tontonan yang ringan tapi bermakna, lucu namun menyentuh, dan akan membuat banyak penonton berkata, “Saya tidak siap… untuk film sebagus ini!”