JKTOne.com – Belakangan, dunia maya diramaikan tudingan bahwa film Superman yang sedang tayang di bioskop adalah gambaran dari konflik Israel – Palestina. Benarkah?
Di awal film garapan sutradara James Gunn itu disebutkan bahwa Boravia, sebuah negara fiksi di Eropa Timur yang merupakan sekutu AS, menyerbu negara fiksi lain bernama Jarhanpur. Kontras antara kedua negara ini sangat mencolok: Boravia memiliki kekuatan militer yang sangat kuat, terlihat dari banyaknya tank, Humvee, dan tentara bersenjata lengkap.
Sementara itu, Jarhanpur digambarkan sebagai negara yang miskin; rakyatnya hanya membawa batu, tongkat, dan bendera. Selain itu, para pemeran warga Jarhanpur adalah aktor keturunan Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika, sedangkan warga Boravia diperankan oleh aktor-aktor kulit putih. Sulit untuk tidak melihat perbedaan ini dan menganggap bahwa Boravia dan Jarhanpur merupakan representasi dari Israel dan Palestina.
Pemerintah AS dan sebagian besar masyarakat umum marah kepada Superman karena dia turun tangan dan menghentikan invasi Boravia ke Jarhanpur. Dalam sebuah adegan ketika Lois mewawancarai Clark alias Superman, ia menyudutkan Clark tentang haramnya masuk secara ilegal ke suatu negara dan tidak berkonsultasi dengan Menteri Pertahanan AS atau Presiden Boravia, Vasil Ghurkos. Superman terlihat frustrasi dan menegaskan bahwa ia tidak mewakili AS atau negara manapun, melainkan bertindak atas kehendaknya sendiri untuk menyelamatkan warga sipil.
Dalam perdebatan mereka, Lois sempat menyebut bahwa Jarhanpur “bukan negara yang polos” dan bahwa tindakan Superman justru bisa berujung pada mengganti satu rezim tiran dengan rezim tiran lainnya. Ini mengingatkan pada propaganda Zionis yang menjelekkan rakyat Palestina melalui narasi orientalis dan islamofobik: “mereka membenci perempuan,” “mereka mengeksekusi kelompok LGBTQ,” “mereka memilih Hamas,” “mereka anti-Semit”—semuanya digunakan untuk membenarkan genosida dan pembersihan etnis. Superman menanggapi dengan mengatakan bahwa rakyat Jarhanpur tidak perlu menjadi sempurna untuk dibela dari pembantaian.
Alegori tidak berhenti sampai di situ. Di akhir cerita, terungkap bahwa sang miliarder tiran Lex Luthor yang ternyata memasok senjata ke Boravia dengan imbalan sebagian besar wilayah Jarhanpur.
Banyak yang merepresentasikan Luthor sebagai Presiden AS Donald Trump. Jika kita kaitkan dengan situasi Israel, AS bukan hanya sekadar membiarkan, tetapi juga secara aktif mendanai, mempersenjatai, dan mendukung kolonialisme pemukim serta genosida yang dilakukan Israel. Bahkan pada bulan Februari lalu, Trump sempat mengusulkan agar AS “mengambil alih” dan “memiliki” Jalur Gaza setelah warga Palestina terusir dari sana.
Tidak ada yang tahu apa maksud dan tujuan James Gunn, menggunakan plot cerita yang disebut-sebut sangat mirip dengan realitas yang sedang berlangsung ini. Tapi, bisa jadi Gunn tidak berniat membuat alegori tersebut, meski para penonton dan kritikus tetap akan melihat koneksi itu.
Di sisi lain, Gunn berhasil mengubah nuansa film ini menjadi berbeda dibandingkan dengan film-film Superman sebelumnya. Seperti film “Man of Steel” (2013) karya Zack Snyder, penggambaran Superman dan keluarga Kent terasa terlalu kelam. Sebaliknya, film baru Superman ini justru tidak malu-malu merangkul elemen fantasi dan komik khas semesta DC.