JKTOne.com – Bertepatan dalam rangkaian Peringatan Hari Kanker Sedunia 2022, Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) berkolaborasi dengan IASTO (Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology) mengeluarkan rekomendasi kebijakan (policy brief) untuk mendukung terciptanya ekosistem penatalaksanaan kanker paru yang komprehensif di Indonesia, dengan tajuk Membuka Lebar Pintu Harapan: Meningkatkan Kesintasan Pasien Kanker Paru melalui Deteksi Dini, Diagnosis, dan Tata Laksana yang Berkualitas.
Kanker paru merupakan salah satu kanker dengan angka kejadian tertinggi di Indonesia, di mana terdapat 34.783 kasus baru kanker paru di Indonesia dan 30.843 kematian akibat kanker paru selama tahun 2020 (menurut data WHO melalui Global Cancer Observation (Globocan)). Kanker paru juga merupakan kanker yang paling banyak terjadi pada laki-laki, di mana setidaknya 25.943 kasus atau sekitar 14,1 persen dari seluruh kasus kanker baru terjadi pada laki-laki. Namun, angka kesintasan kanker paru terbilang cukup rendah.
Data dari jurnal The Lancet Oncology, salah satu jurnal penelitian dari Eropa tahun 2014 memperlihatkan hanya sekitar 13,7 persen pasien kanker paru yang masih bertahan dalam 5 tahun setelah diagnosis ditegakkan, sementara rata-rata lama hidup pasien setelah diagnosis kanker paru adalah 8 bulan.
Tidak hanya merupakan salah satu kanker paling mematikan di dunia dan Indonesia, kanker paru juga merupakan penyakit dengan dampak yang multidimensi. Berdasarkan penelitian dari Japanese Journal of Clinical Oncology tahun 2014, pasien dengan kanker paru memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien kanker lainnya dikarenakan tekanan mental yang dirasakan.
Karena biaya pengobatannya yang besar, kanker paru juga berpotensi mempengaruhi produktivitas keluarga atau pengasuh pasien, yang seringkali semestinya sedang berada dalam masa puncak produktivitas mereka. Berbagai jurnal penelitian dari Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa dampak ekonomi dan sosial kanker paru diperkirakan yang terbesar di antara semua jenis kanker.
Kematian akibat kanker paru dapat dicegah, tingkat kesintasan pasien dapat meningkat, dan biaya kesehatan dapat dihemat apabila diagnosis dan tata laksana yang tepat dilakukan lebih awal. Di Inggris Raya, 83 persen pasien yang didiagnosis di stadium I masih hidup satu tahun setelah diagnosis, dibandingkan dengan 17 persen yang didiagnosis di stadium IV.
dr. Evlina Suzanna, SpPA, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia serta Rumah Sakit Kanker Dharmais, Pusat Kanker Nasional menjelaskan, jumlah kasus kanker paru di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya di Indonesia. Selain itu, usia penderita kanker paru pun semakin muda. Pasien kanker paru perlu mendapatkan pelayanan yang komprehensif, dimulai dari kepedulian terhadap bahaya kanker paru, skrining/deteksi dini, diagnosis, dan pengobatan sedini dan setepat mungkin.
“Hal ini bertujuan untuk meningkatkan peluang kesintasan dan mengurangi beban biaya kesehatan penyintas kanker paru. Diharapkan mampu menjangkau semakin banyak pasien kanker paru dan meningkatkan harapan hidup penyintas kanker paru di Indonesia.”
Prof. dr. Elisna Syahruddin, Ph.D., Sp.P(K)Onk, Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO) mengatakan, pengendalian faktor risiko kanker paru merupakan salah satu langkah penting untuk mencegah dan menurunkan jumlah insiden kanker paru di Indonesia.
“Faktor risiko kanker paru ini utamanya disebabkan oleh kebiasaan merokok dan terpapar asap rokok secara terus menerus, serta apalagi bila disertai faktor risiko lain misalnya paparan zat karsinogen di tempat kerja atau riwayat kanker paru dalam keluarga. Maka dari itu, skrining dan deteksi dini sangat diperlukan agar pasien kanker paru ditemukan pada stadium dini sehingga upaya untuk meningkatkan angka tahan hidup (kesintasan) dapat dicapai.”
Prof. Elisna menambahkan, banyak negara telah menerapkan kebijakan skrining dengan menggunakan low-dose CT scan (LDCT) untuk deteksi dini kanker paru. Kebijakan tersebut didukung oleh hasil studi di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa yang menunjukkan efektivitas biaya dalam program skrining kanker paru.
“Harapannya di Indonesia kanker paru pun bisa segera masuk ke dalam program deteksi dini dari Kementerian Kesehatan. Skrining pada kanker paru ini diharapkan bisa dilakukan bagi masyarakat luas yang memiliki faktor resiko tinggi, terutama yang terpapar asap rokok, apalagi mereka yang merupakan perokok berat dan mempunyai riwayat kanker paru dalam keluarganya.”
“Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan luaran klinis dan menghemat biaya perawatan secara menyeluruh, berdasarkan hasil penelitian ditemukan peran gen EGFR, AlK dan PD-L1 untuk pilihan terapi target yg optimal,” lanjut Prof. Elisna.
Megawati Tanto, Koordinator Kanker Paru Cancer Information and Support Center mengatakan, sebagai seorang penyintas kanker paru sekaligus mewakili rekan-rekan pasien kanker paru di Indonesia, seringkali para pasien kanker paru terdiagnosis ketika sudah memasuki stadium lanjut. Akibatnya, tindakan pengobatan yang diterima pun terlambat sehingga tingkat angka kematian pasien kanker paru menjadi tinggi.
“Pasien kanker paru di Indonesia juga menghadapi berbagai kendala, mulai dari pelayanan diagnosis kanker paru di BPJS yang masih terbatas dan tidak mencukupi untuk pemeriksaan molekuler seperti EGFR, ALK dan PD-L1; belum adanya program skrining kanker paru dari pemerintah, sehingga pasien tidak bisa melakukan pemeriksaan yang dibutuhkan karena adanya kendala biaya; serta dari sisi pengobatan banyak kebutuhan pengobatan yang memang tidak bisa didapatkan pasien, karena tidak bisa diperoleh melalui BPJS.”
“Kami berharap pihak yang berkepentingan dapat semakin peduli akan para pasien kanker paru dan menjadikan pelayanan kanker paru yang komprehensif dan mudah diakses masyarakat sebagai salah satu prioritas,” harapnya
Pemerintah sendiri telah menyadari besarnya beban penyakit tidak menular seperti kanker bagi pembangunan bangsa, dan berkomitmen untuk mengurangi kematian yang diakibatkan penyakit tersebut.
Kementerian Kesehatan RI, yang diwakili oleh dr. Else Mutiara Sihotang, Koordinator RS Pendidikan, mengatakan, sebagai bagian dari komitmen global untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Indonesia melalui RPJMN 2019-2024 berkomitmen mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular, termasuk kanker pada tahun 2030.
“Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI tahun 2019-2024 juga menetapkan target 100 persen kabupaten/kota melakukan deteksi dini penyakit kanker di ≥ 80% populasi usia 30-50 tahun pada tahun 2024, terutama untuk kanker payudara, kanker serviks, kanker paru, dan kanker kolon.”
“Kami di Roche Indonesia percaya bahwa mengambil tanggung jawab sebagai mitra sistem perawatan kesehatan dan pemerintah sama pentingnya dengan inovasi ilmiah yang kami miliki. Kami bangga dapat berkolaborasi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan di tingkat nasional, serta bekerja sama untuk menerapkan cara yang optimal dalam menanggulangi kanker paru bersama-sama,” kata dr. Ait-Allah Mejri, Presiden Direktur Roche Indonesia.