JKTOne.com– United Nations Development Programme (UNDP) menyelenggarakan dialog kebijakan penting pada hari ini, mempelajari domain kritis hak-hak dan etika digital. Diskusi tersebut menjelaskan tentang tantangan yang rumit seputar keamanan hak digital dan perlindungan data di Indonesia, serta dimensi etika yang melekat dalam digitalisasi dan perilaku pengguna. Dialog ini menjadi seri kedua dari rangkaian tiga kebijakan dialog yang komprehensif membahas masalah mendesak tentang kepentingan digital di Indonesia. Selaras dengan komitmen mendukung perjalanan Indonesia menuju Sustainable Development Goals (SDGs), UNDP secara aktif memajukan inisiatif yang fokus pada digitalisasi, inovasi strategi dan pembiayaan pembangunan. Seri dialog yang mencerahkan Ini tidak hanya membahas nuansa hak-hak digital tetapi juga memulai eksplorasi polarisasi yang meningkat dalam ranah digital, topik terpenting yang telah dijadwalkan untuk seri terakhir. Wacana tersebut dilengkapi analisis komprehensif yang diperkaya dengan wawasan dari berbagai pemangku kepentingan.

Ibu Sujala Pant, Deputy Resident Representative UNDP Indonesia, membuka acara dialog dengan menggarisbawahi pentingnya wawasan tentang hak digital. la menyatakan, “Tidak adanya standar dan perlindungan yang kuat menciptakan lingkungan di mana partisipasi dalam hambatan ekonomi digital, layanan pemerintah kurang dapat diakses, dan potensi teknologi tidak sepenuhnya dimanfaatkan. Kekhawatiran tentang privasi data, bias algoritma dan penggunaan media digital yang bertanggung jawab telah menuntut perhatian segera kami.”

Berbagi penelitian yang sedang berlangsung tentang perlindungan data di Indonesia, Ibu Treviliana Eka Putri, Konsultan Digital Divide UNDP, tekanan tanggung jawab bersama untuk keamanan dan privasi data. Ia meringkaskan fenomena “desensitisasi” akibat pelanggaran berulang, dengan sebanyak 35 kasus tercatat pada kuartal tahun 2023 saja. Menyoroti urgensi tersebut, Treviliana menyampaikan, “Sementara kita mempertimbangkan keamanan dan privasi, kita harus menyadari rendahnya akses dan literasi digital yang ada, menggaris bawahi ketegangan digital yang mencolok. Di luar penyediaan infrastruktur, terdapat kebutuhan mendesak untuk program peningkatan kapasitas yang komprehensif, mulai dari tingkat pendidikan dasar,

Bapak Bobby Adhityo Rizaldi, Anggota Komisi I DPR RI, mengakui adanya celah regulasi terkait kecerdasan buatan (Al). Dia menyatakan, “Kami secara aktif berupaya merumuskan peraturan yang melindungi informasi pribadi, termasuk konsumen data, dari eksploitasi data besar dan konglomerat Al.” Bobby lebih lanjut menjelaskan lanskap peraturan Indonesia saat ini, pengajuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru saja disahkan sebagai tonggak penting dalam ranah hak digital.

Ibu Nindhitya Nurmalitasari, Analis Kerjasama Perlindungan Data Pribadi di Kementerian Komunikasi dan Informatika, menggarisbawahi pendekatan yang disesuaikan yang diperlukan Untuk hak dan etika digital, mengingat lanskap adopsi digital yang unik di Indonesia. Dia mengungkapkan upaya pemerintah yang sedang berlangsung, menjelaskan, “Setelah pengesahan UU PDP, Kementerian Informasi dan Komunikasi dengan cermat menyusun dua peraturan – satu mengatur pelaksanaan UU PDP dan yang lainnya menyusun lembaga pembentukan yang bertanggung jawab untuk memantau pelaksanaannya.”

Bapak Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet), mengadvokasi peningkatan kesadaran di kalangan pengguna internet rata-rata mengenal pengumpulan data oleh Al dan perusahaan data besar. Dia menyarankan, “Pergeseran mendalam melibatkan keterlibatan berbagi informasi pribadi secara berlebihan, bahkan saat kami menyadari penggunaan fitur media sosial yang lazim tanpa berpikir dua kali. Pada saat yang sama, memelihara etika dan norma digital sambil memastikan partisipasi termasuk dari kelompok rentan, termasuk wanita, anak-anak, dan penyandang disabilitas, sangat penting dalam penyusunan peraturan digital baru.”

Ibu Amalia Suri, Direktur Eksekutif Emancipate Indonesia, efek algoritma pada gig economy dan konsekuensinya terhadap kondisi kerja yang layak. Dia tertekan, “Tenaga kerja gig economy, yang sering dicap sebagai ‘mitra’ oleh perusahaan aplikasi transportasi online, menghadapi eksploitasl yang merajalela. Pada kenyataannya, pekerja bekerja secara berlebihan, kehilangan waktu istirahat, karena takut dengan adanya pembalasan algoritmik. Bahkan setelah bekerja lebih dari sepuluh jam setiap hari, mereka tetap terjebak dalam kondisi upah yang tidak layak.” Wawasan kumulatif serta hasil dari tiga seri dialog ini akan dituangkan dalam kebijakan pemikiran (policy think piece), yang akan dirilis pada akhir tahun ini.

 

LEAVE A REPLY