JKTOne.com, Jakarta – Setelah sebelumnya Majelis Ulama Indonesia menggelar Fokus Group Discussion tentang film yang diharapkan memuat nilai yang bisa mengedukasi masyarakat tentang hal yang positif, dari proses produksi hingga film yang layak ditonton masyarakat.
Dan pada Senen (20/5), MUI kembali menggelar FGD. FGD kali ini membahas tentang sastra Islam. FGD yang dihadiri Ketua Komisi Pembinaan Seni dan Budaya Islam (KPSBI) MUI, Habiburrahman El-Shirazy, yang akrab di panggil Kang Abik, ini dihadiri pula sejumlah pengurus MUI, sastrawan dan beberapa blogger ini menggali tentang Sastra Islam, untuk kemudian membuat acuan buat karya sastra agar pantas dan mampu merubah penggemar karya sastra kearah yang positif.
“Fatwa yang menyatakan sastra dan fiksi merupakan bid’ah ini membuat para penulis berhenti berkarya, bahkan ada yang menyatakan menulis karya sastra merupakan kebohongan yang dilarang Baginda Rasulullah. Meski isinya tentang kebaikan” Ungkap penulis yang terkenal lewat novelnya “Ayat-Ayat Cinta.”
Salah satu anggota FGD, Pakar Bahasa Arab UI, Bastian Zulyeno membahas sastra dari sisi sejarahnya. Bastian memaparkan pengertian sastra berdasarkan dari sumbernya. Karena sastra sudah ada sejak jaman dulu. Indonesia sendiri memiliki ciri khas dalam karya sastranya.
Pada karya sastra Indonesia ditemukan banyak sekali perumpamaan yang menggunakan alam, misalnya “jangan lupa daratan,” ini berkaitan dengan sebagian pendahulu kita yang sebagian adalah nelayan dan sering melaut dalam waktu yang cukup lama.
Sementara itu, yang berkaitan dengan imajinasi, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, HM Asrorun Ni’am mengungkapkan, “imajinasi atau alam fikir, sesungguhnya sudah diatur didalam Islam. Selama imajinasi tersebut masih berbentuk imajinasi didalam fikiran, maka belum ada ketetapan hukumnya. Tapi, jika imajinasi tersebut sudah menjelma dalam bentuk karya sastra, maka ada hukum-hukumnya, mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.” Fatwa sendiri harus memuat dimensi aqidah, syariah, muamalah dan dzikir. Sehingga karya sastra tidak hanya keindahan rangkaian kata, tapi juga mengandung nilai-nilai keislaman, lanjut HM. Asrorun Na’im.
Sehingga Kak Abik mengungkapkan pentingnya FGD kali ini untuk menjadi bahan bahasan dalam persiapan Rapat Kerja Nasional MUI dalam pembuatan panduan bagi para penulis sastra di Indonesia.