Film yang tayang 30 April 2025 ini persembahan Cinesurya, Starvision, dan Kaninga Pictures dari adaptasi "Jalan Tak Ada Ujung" karya Mochtar Lubis ini akan menghadirkan kisah cinta segitiga. (Lid/JKTOne.com)

JKTOne.com – Industri perfilman Indonesia makin mengepakkan sayapnya lebih lebar lagi, menjelajah banyak genre baru yang belum pernah dikulik sebelumnya, salah satunya adalah film buah karya sutradara terbaik FFI Mouly Surya, “Perang Kota”. Film yang tayang 30 April 2025 ini persembahan Cinesurya, Starvision, dan Kaninga Pictures dari adaptasi “Jalan Tak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis ini akan menghadirkan kisah cinta segitiga di tengah kekacauan perang di kota Jakarta pada tahun 1946.

Mouly Surya mengaku, ide dasar dari film “Perang Kota” ini adalah tentang kehidupan orang-orang yang berada dalam masa peperangan, dalam konteks di suatu kota yang tengah berada di bawah tekanan.

“Dengan memberikan banyak warna, ada cinta hingga banyak gejolak yang terjadi. Gaya 1946 juga ditampilkan dengan mendesain kota Jakarta yang banyak memiliki gang-gang sempit. Ini menjadi seperti metafora, bahwa guerilla fighting itu ada di Indonesia. Pertarungan dan peperangan tak terjadi di jalan-jalan besar tapi lewat jalan-jalan kecil,” ungkap Mouly yang juga seorang penulis film “Perang Kota” dalam jumpa persnya, Senin (21/4/2025).

Film “Perang Kota” diproduseri oleh Chand Parwez Servia, Fauzan Zidni, Tutut Kolopaking, dan Rama Adi, serta Willawati sebagai produser eksekutif. Film ini juga turut diko-produseri produser Indonesia dan internasional, di antaranya Anthony Chen, Tan Si En, Denis Vaslin, Fleur Knopperts, Isabelle Glachant, Ingrid Lill Høgtun, Marie Fuglestein Lægreid, Linda Bolstad Strønen, Bianca Balbuena, Bradley Liew, Axel Hadiningrat, Giovanni Rahmadeva, Siera Tamihardja, dan Loy Te.

Film “Perang Kota” juga menggunakan format audio Dolby Atmos, yang akan memberikan pengalaman menonton lebih imersif dan sinema absolut. Sementara itu, tata suara dikerjakan oleh sound designer asal Prancis Vincent Villa, di Kamboja.

Berikut Seklumit Kisahnya…

Mempertaruhkan cinta dan perjuangan yang diselimuti pengkhianatan. Jakarta tahun 1946 dalam perang, cinta dan pengkhianatan. Guru ISA (Chicco Jerikho), pahlawan perang yang bermasalah di ranjang perkawinannya, dipercayakan misi menghabisi petinggi kolonial Belanda dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, bersama sahabatnya HAZIL (Jerome Kurnia), pemuda tampan dan bersemangat yang diam-diam mencuri hati FATIMAH (Ariel Tatum), istri Isa.

Setahun setelah Indonesia merdeka, Jakarta menjadi medan perang antara pejuang kemerdekaan dan tentara Sekutu yang ditunggangi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Razia, penangkapan, penembakan, hingga bakar-bakaran. Situasi begitu mencekam, sampai-sampai ibukota pindah darurat ke Yogyakarta.

Perang terjadi di tengah kota. Pertempuran kecil di mana-mana jadi pemandangan sehari-hari. Banyak keluarga kehilangan anggota keluarga mereka, sementara hidup harus tetap berjalan. Ekonomi hancur, bahan makanan susah didapat, harga melambung tinggi.

Di tengah semua itu, Isa (Chicco Jerikho) berjuang untuk keseharian di kota yang terus berperang, Fatimah (Ariel Tatum) bertahan dari perang batinnya, dan Hazil (Jerome Kurnia) bersikeras dengan semangat perjuangannya. Ketiga karakter utama ini menampilkan intrik yang tak hanya berkelindan di antara kekacauan kota, namun juga batin yang berkecamuk.

Fatimah mendamba kehangatan dari Isa, sementara Isa, yang terkena dampak trauma, tak bisa memberikan kepuasan batin bagi istrinya. Hazil, pemuda yang tengah bergairah menjadi pelampiasan hasrat Fatimah.

Chicco Jerikho, yang memerankan Isa mengungkapkan karakternya memiliki dimensi berlapis. Pada satu sisi, Isa harus menghadapi masalah impotensinya, namun di satu sisi ia juga harus tetap berjuang melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan bangsa.

“Isa di film ini memiliki spektrum yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan yang ada di bukunya. Mouly memberikan multi-dimensi untuk karakter Isa yang harus saya refleksikan di dalam film. Ia sosok yang flamboyan, pejuang, tetapi juga punya perjuangannya sendiri di rumah tangganya bersama Fatimah. Dengan sisi tragisnya yang tak ada ujungnya,” kata Chicco Jerikho.

Hazil (Jerome Kurnia), Fatimah (Ariel Tatum) dan Isa (Chicco Jerikho), mereka berjuang untuk keseharian di kota yang terus berperang, dan bertahan dari perang batinnya. (Lid/JKOne.com)

Sementara itu, Ariel Tatum mengatakan karakter Fatimah di film ini tidak itempatkan sebagai sepenuhnya antagonis, meski ia melakukan pengkhinatan terhadap suaminya, Isa. Fatimah harus berjuang dengan kegundahan batinnya dalam mengurus urusan domestik, juga mengurus anak yang dibawa Isa ke dalam rumah mereka.

“Di bukunya, Fatimah adalah ibu rumah tangga yang berselingkuh dengan Hazil, teman seperjuangan suaminya, Hazil. Namun Mouly memberikan sedikit transformasi di filmnya. Fatimah membawa persona sosok perempuan yang tangguh dan mewakili perempuan pada masanya. Fatimah adalah sosok yang kuat, dan keras.

Mouly Surya meramu intrik cinta segitiga dengan perjuangan dan pengkhianatan dengan lugas namun tetap luwes. Pergerakan kamera dari sinematografer peraih empat nominasi Sinematografi Terbaik FFI Roy Lolang juga membawa visual konflik batin dan perang menjadi sebuah film periodik yang memberikan interpretasi segar.

Dengan menggunakan rasio aspek 4:3 yang berfungsi sebagai perangkat estetika sekaligus naratif—menambah kesan klasik dan bentuk yang hampir persegi menciptakan suasana intim dan fokus pada karakter.

“Lewat kolaborasi internasional ini juga menjadi pertukaran informasi dan pengetahuan bagi sesama pekerja film kita,” kata produser Rama Adi dari Cinesurya.

“Starvision selalu percaya dengan visi yang dibawa oleh sineas dengan daya eksplorasi terhadap penceritaan yang menawarkan perspektif baru dalam sinema Indonesia. Mouly Surya memberikan kita sebuah karya yang akan memantik kemungkinan-kemungkinan baru yang jarang diceritakan lewat film ini,” tutup produser Chand Parwez Servia.

LEAVE A REPLY