JKTOne.com – Optimisme terhadap masa depan industri hulu migas makin meningkat seiring dengan terus adanya perbaikan dari realisasi investasi dari tahun ke tahun. Terbaru, pada semester I 2023 Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mencatat investasinya sebesar US$5,7 miliar. Ini meningkat cukup signifikan atau tumbuh 21% juka dibandingkan dengan realisasi investasi tahun lalu dengan periode yang sama yaitu mencapai US$4,7 miliar.
Kurnia Chairi, Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas, mengungkapkan sejak 2020 tren gairah investasi hulu migas di Indonesia berubah cukup drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan data SKK Migas 2020 realisasi investasi hulu migas US$10,5 miliar, tumbuh di tahun 2021 menjadi US$10,9 miliar dan tahun lalu realisasinya bahkan menembus US$12,1 miliar. Untuk itu pemerintah optimistis dengan investasi hulu migas tahun ini yang bisa mencapai US$15,6 miliar.
“Kalau kita lihat detail sebenarnya ada perbaikan di sana bisa dikatakan begitu karena setiap tahun ada peningkatan,” kata Kurnia dalam sesi diskusi Industry Challange bertemakan Attracting Capitan for Indoensia O&G Investment to Secure Energy Transition di hari ke 2 IPA Convention and Exhibition (Convex) 2023 di ICE BSD, Rabu (26/7).
Menurut Kurnia, realisasi investasi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan ada kepercayaan yang meningkat kepada pemerintah dan kondisi iklim investasi secara keseluruhan karena jika diselisik peningkatan gairah investasi ini berada ditengah kondisi saat banyak pihak menganggap adanya ketidakpastian sektor dari sisi hukum karena belum terbitnya revisi undang-undang migas.
“Bahkan untuk isu legal dan kontraktual sebenarnya stagnan dalam beberapa tahun terakhir kita harus konfirmasi lagi revisi dari migas,” ungkap Kurnia.
Dia menegaskan pelaku usaha dipastikan sangat menantikan terbitnya revisi UU Migas yang sudah mangkrak pembahasannya lebih dari 10 tahun. Kurnia menuturkan SKK Migas hingga kini terus mendorong semua stakeholder yang terlibat untuk segera merampungkan pembahasan revisi UU Migas. “Itu akan jadi prioritas disebabkan legal dan kontraktualnya stangan dalam beberapa tahun,” ujar Kurnia.
Perizinan serta komersialisasi cadangan migas juga turut memberikan dampak terhadap investasi. Menurut Kurnia ini menjadi perhatian dan untuk itu SKK Migas berinisiatif dengan program perizinan satu pintu. “Kita ingin menjawab proses perizinan yang begitu panjang skk migas akan menjaga perizinan agar bisa dipercepat jangan ragu-ragu karena kami satu pusat one door policy, komersialisasi ini juga isu yang besar, kita juga menyadari kita harus buat mekanisme harga yang transparan dan adil hulu bisa ekonomis dan juga hilir mendapatkan nilai ekonomis yang adil,” jelas Kurnia.
Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengungkapkan ada dua UU yang sebenarnya berkaitan dan harus segera diselesaikan yaitu UU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) serta UU Migas. Keduanya berhubungan dengan model bisnis dalam kegiatan operasi migas di masa depan yang harus memenuhi tuntutan keberlanjutan lingkungan.
“Kalau kita bisa dapatkan dua UU ini dan implementasi pajak karbon yang saat ini masih dipending saya yakin ekosistem akan bisa dilaksanakan untuk pengembangan energi bersih untuk persaingan yang sehat migas dan renewable energy,” jelas Satya.
Firouz Asnan, SVP Petronas Malaysia Petroleum Management, mengungkapkan Indonesia harus lebih terbuka jika ingin menarik lebih banyak investasi. Jika melihat Malaysia, meskipun dari sisi ukuran jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia namun untuk urusan penemuan migas dan investasi yang masuk Malaysia jauh lebih unggul.
“Perubahan yang dibutuhkan adalah adanya kebutuhan untuk memastikan adanya investasi yang terus menerus, bagaiamana kita bertumbuh kalau pasar tidak bertumbuh untuk bisa berubah kita harus berubah kita harus lebih terbuka. Malaysia itu kecil tapi tetap saja kita punya penemuan (migas) 3 tahun lalu,” ungkap Firouz.
Menurut dia, pemerintah juga harus lebih fleksibel. Terutama dari sisi kontrak kerja yang ditawarkan kepada para pelaku usaha. Firouz menilai kontrak yang fleksibel tidak akan berdampak negatif karena yang utama adalah adanya stabilitas dalam kebijakan.
“Selama covid kita memperkenalkan tiga term baru sekarang ini kita punya 11 PSC, yang penting adalah fundalmental kita untuk menjamin stabilitas mereka masuk sistem,” jelas Firouz.